Dalam ruang-ruang kelas hari ini, suara-suara kecil sering kali tenggelam oleh dominasi kebenaran tunggal. Padahal, pendidikan sejati mestinya memberi ruang bagi setiap suara untuk didengar dan setiap perbedaan untuk dihargai. Di sinilah empati menemukan relevansinya, bukan sekadar sebagai keterampilan emosional, tetapi sebagai fondasi moral dan pedagogis dalam membangun pembelajaran yang transformatif. Ketika empati menjadi nafas pendidikan, sekolah tidak lagi menjadi tempat untuk menjejalkan pengetahuan, melainkan ruang bersama untuk tumbuh, berbagi, dan memahami.
Empati dalam konteks pendidikan bukan hanya soal rasa iba, melainkan kemampuan untuk memahami perspektif orang lain dan menanggapinya dengan kepekaan dan penghargaan. Decety dan Jackson (2006) membedakan empati kognitif sebagai pemahaman mental terhadap pengalaman orang lain, dan empati afektif sebagai resonansi emosional terhadap penderitaan atau kebahagiaan mereka. Dalam ruang kelas, kedua bentuk empati ini sangat penting: empati kognitif memungkinkan guru menyesuaikan pendekatan mengajar berdasarkan kebutuhan siswa, sedangkan empati afektif menciptakan suasana emosional yang suportif dan aman. Noddings (2013) menyebut pendidikan yang berlandaskan empati sebagai bentuk kepedulian etis yang membangun relasi otentik antara guru dan siswa.
Keberagaman adalah realitas dalam setiap kelas. Siswa hadir dengan latar belakang budaya, sosial, bahasa, bahkan spiritualitas yang berbeda. Menghargai perbedaan bukan sekadar bentuk toleransi, melainkan strategi pedagogis yang memperkaya proses belajar. Ketika siswa merasa identitasnya diakui dan suaranya didengar, mereka akan lebih termotivasi untuk terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Banks (2016) menekankan bahwa pendidikan multikultural yang mengakui dan mengintegrasikan pengalaman hidup siswa ke dalam kurikulum dapat membangun rasa memiliki dan memperkuat kohesi sosial. Dalam konteks ini, empati tidak hanya menjadi sikap personal, tapi juga praksis struktural dalam menciptakan sekolah yang inklusif.
Menumbuhkan student voice adalah bagian penting dari praktik empatik dalam pendidikan. Suara siswa adalah jendela menuju pengalaman mereka yang otentik—tentang apa yang mereka pikirkan, rasakan, dan harapkan dari proses belajar. Fielding (2004) menegaskan pentingnya menciptakan ruang dialog yang memungkinkan siswa bukan hanya sebagai objek pendidikan, tetapi sebagai subjek aktif yang berkontribusi dalam desain dan evaluasi pembelajaran. Guru yang berempati mendengar dengan sungguh-sungguh, mengolah setiap masukan, dan merancang kegiatan belajar yang kontekstual serta bermakna. Ketika siswa merasa didengarkan, mereka akan lebih percaya diri dan terlibat dalam dinamika kelas.
Empati juga menjadi motor utama dalam pembelajaran transformatif. Mezirow (2000) menggambarkan proses pembelajaran transformatif sebagai proses refleksi mendalam terhadap asumsi dan cara pandang, yang kemudian memunculkan perubahan kesadaran diri. Dalam proses ini, empati memungkinkan siswa untuk terbuka terhadap pengalaman dan perspektif yang berbeda, sehingga memperkaya cara mereka memaknai dunia. Pendidikan tidak lagi semata-mata transmisi informasi, tetapi menjadi proses pembentukan identitas, nilai, dan tindakan sosial yang etis. Di sinilah empati bukan hanya alat, tetapi juga tujuan dari pendidikan yang membebaskan.
Namun, menjadikan empati sebagai arus utama pendidikan tentu bukan perkara mudah. Budaya kompetisi yang kaku, kurikulum yang padat, serta minimnya pelatihan guru dalam aspek sosial-emosional sering menjadi penghalang. Untuk itu, diperlukan intervensi sistemik—mulai dari pelatihan guru dalam Social Emotional Learning (SEL), penyusunan kurikulum yang menyisipkan proyek-proyek sosial berbasis pengalaman, hingga forum dialog rutin antara guru dan siswa. Schonert-Reichl (2017) menunjukkan bahwa sekolah yang mengintegrasikan SEL secara konsisten memiliki siswa dengan keterampilan sosial yang lebih baik dan iklim kelas yang lebih sehat secara emosional.
Dalam masyarakat yang makin terpolarisasi, pendidikan berbasis empati adalah harapan akan masa depan yang lebih manusiawi. Ketika setiap suara didengar dan setiap perbedaan dihargai, sekolah tidak hanya mendidik kepala, tetapi juga hati dan tindakan. Di sinilah transformasi terjadi—bukan semata pada capaian akademik, tetapi pada tumbuhnya warga belajar yang mampu mencintai, memahami, dan bertindak adil dalam kompleksitas kehidupan bersama.
Salah satu praktik pembelajaran SEL yang efektif di kelas adalah kegiatan morning circle atau lingkaran pagi. Setiap pagi sebelum pelajaran dimulai, guru dan siswa duduk membentuk lingkaran dan saling berbagi perasaan, pengalaman, atau harapan hari itu. Kegiatan ini bukan hanya membangun keterbukaan, tetapi juga melatih siswa untuk mendengarkan dengan aktif dan menunjukkan empati terhadap teman-temannya. Misalnya, jika ada siswa yang sedang sedih karena keluarganya sakit, siswa lain diajak untuk memberikan dukungan lewat kata-kata positif atau gestur sederhana seperti pelukan atau gambar penyemangat. Praktik ini menciptakan ruang emosional yang aman dan meningkatkan koneksi antar siswa serta antara siswa dan guru.
Contoh lainnya adalah integrasi SEL ke dalam pelajaran Bahasa Indonesia atau IPS melalui project-based learning. Siswa diminta menulis narasi berdasarkan pengalaman orang lain, seperti cerita hidup kakek-nenek mereka, atau mewawancarai teman yang berbeda latar belakang budaya. Dari situ, mereka diajak untuk merefleksikan bagaimana memahami dan menghargai perasaan serta perspektif orang lain. Aktivitas ini bukan hanya mengasah kemampuan kognitif seperti menulis dan bertanya, tetapi juga membangun empati lintas generasi dan budaya.
Di pelajaran IPA, guru dapat menugaskan proyek kelompok yang menekankan pada kerja sama dan pengambilan keputusan berbasis konsensus. Guru secara aktif memfasilitasi bagaimana kelompok mendiskusikan pembagian tugas, menghargai pendapat anggota, dan menyelesaikan konflik. Refleksi dilakukan di akhir proyek untuk mengevaluasi bukan hanya hasil kerja, tetapi juga bagaimana perasaan mereka dalam bekerja bersama. Hal ini melatih keterampilan sosial seperti manajemen emosi, tanggung jawab, dan pengambilan perspektif.
Daftar Bacaan
Banks, J. A. (2016). Cultural diversity and education: Foundations, curriculum, and teaching (6th ed.). Routledge.
CASEL. (2023). What is SEL?. Collaborative for Academic, Social, and Emotional Learning. Retrieved from https://casel.org/what-is-sel/
Decety, J., & Jackson, P. L. (2006). A social‐neuroscience perspective on empathy. Current Directions in Psychological Science, 15(2), 54–58. https://doi.org/10.1111/j.0963-7214.2006.00406.x
Fielding, M. (2004). Transformative approaches to student voice: Theoretical underpinnings, recalcitrant realities. British Educational Research Journal, 30(2), 295–311. https://doi.org/10.1080/0141192042000195236
Mezirow, J. (2000). Learning as transformation: Critical perspectives on a theory in progress. Jossey-Bass.
Noddings, N. (2013). Caring: A relational approach to ethics and moral education (2nd ed.). University of California Press.
Schonert-Reichl, K. A. (2017). Social and emotional learning and teachers. The Future of Children, 27(1), 137–155.

